Go, Go, Cheerleaders…! (CONTOH CERPEN)

Go, Go, Cheerleaders…!
-Kedisiplinan adalah segalanya-

 (by Spirlee A.S.)

One, Two, Three, Four, Down, Up, Down, Up…
One, Two, Three, Four, Down, Up, Down, Up…
Suara pemandu cheers yang sangat nyaring itu membuatku lebih semangat untuk menunjukan aksiku dalam perlobaan cheers. Tentunya juga dengan kerja sama dengan teman-teman lainnya. Suara tepuk tangan penonton menggema dari setiap sudut stadion yang terpana menyaksikan aksi cheers dari timku. Tak luput juga terdengar suara sorak sorai dan yel-yel dari beberapa penonton yang mendukung timku.
Aku melihat podium tempat duduk stadion penuh sesak dijejali orang yang ingin menyaksikan proses berlangsungnya lomba ini. Di anatara penonton tersebut terdapat beberapa orang yang menjual berbagai minuman dan camilan. Di sisi lain juga terdapat lima juri yang duduk menyaksikan aksi dari beberapa cheers di tepi lapangan stadion. Di samping meja juri aku melihat pelatihku yang dengan sigap memberikan arahan kepada timku yang sedang beraksi. Juga ada spanduk yang bertuliskan ‘Cheers Competition 2013’ terpasang di tembok podium dekat dengan meja juri.
“Shel, kamu siap?” tanya Anggit, salah satu anggota cheers, padaku.
“Oke, ayo…!” jawabku semangat.
Beberapa detik kemudian aku merasakan sensasi melayang karena badanku diangkat oleh teman-teman cheersku. Setelah badanku seimbang dan sudah bisa menyesuikan diri, aku menunjukan aksiku dengan mengangkat salah satu kakiku dan mengaitkannya di tanganku. Sekali lagi penonton memberikan tepuk tangannya melihat aksiku. Bahkan ada yang melakukan standing applause. Tak lama kemudian tiba-tiba salah satu teman cheersku tidak kuat untuk berpegangan dan jatuh. Alhasil formasi yang dibentuk berantakan dan seketika aku jatuh terjerembab ke tanah dari ketinggian tiga meter.
Aku merasakan sekujur tubuhku kaku. Tulang leherku sakit. Aku melihat beberapa bagian tubuhku luka memar dan berdarah. Kurasakan pergelangan tangan kananku keseleo. Aku melihat tim kesehatan datang menolongku. Mereka mencoba membantuku berdiri dan membopongku. Namun setelah aku berdiri dan berjalan beberapa langkah aku melihat sekeliling stadion berputar-putar mengelilingiku. Perlahan-lahan mataku menjadi kabur serta hitam dan aku jatuh pingsan.

Bip… Bip… Bip…
Suara alarmku berbunyi berulang kali. Aku baru menyadari ternyata semua yang kualami hanya mimpi. Dengan mata yang masih terpejam aku mengankat kedua tanganku untuk meraba-raba meja kecil yang terletak dekat dengan ranjangku. Di atasnya hanya terletak sebuah boneka teddy bear dan alarm hello kitty-ku yang tak sabar untuk dimatikan oleh tuannya. Aku segera mematikan alarmku begitu aku mendapatkannya. Dengan setengah dipaksakan aku membuka kedua kelopak mataku yang terasa lengket dan melirik beberapa angka yang tertera di alarmku. 07.25. Seketika itu juga aku terkesiap dan melonjak kaget.
“Hah?! Sudah jam segini? Gawat jam 8 kan aku ada lomba cheers…! Kyaaaa!”
Aku melompat dari ranjang empukku dan langsung menyambar handuk panjang hijau di jemuran. Tak perlu 20 detik aku sudah tiba di kamar mandi. Aku mandi secara ekspres dan tak ada waktu 10 menit aku sudah selesai. Karena terlalu tergesa-gesa, aku terpeleset di keset dekat dengan kamar mandiku saat aku berniat hendak menuju ke kamar untuk berganti baju. Namun aku masih bisa menyeimbangkan badanku.
Di kamar aku membuka almari kayuku dan mendapati satu stel kostum cheers yang akan kugunakan untuk lomba nanti. Sebuah mini skirt yang menyatu dengan atasannya membentuk sebuah dress yang cantik. Dan di bawah almariku terlihat sebuah sepatu putih yang tak lain adalah sepatu yang selalu menemaniku disaat latihan cheers. Langsung saja kuambil kostum itu dan kupakai. Ternyata kostum itu terbuat dari kain katun yang lembut dan terasa dingin di kulit. Kostumnya juga menyesuaikan badan sehingga dapat bergerak bebas apapun yang aku mau.
Setelah berganti baju aku menuju kaca rias setinggi satu meter yang ada di pintu almariku. Di sebelah kaca rias terdapat kotak yang berisi peralatan make up ku. Aku menyisir rambutku dan menalinya menjadi satu dengan menggunakan pita merah muda serta sebuah jepit lucu yang tak luput kugunakan. Tak lupa juga aku mengambil wadah soft lens-ku di dalam kotak make up. Kali ini aku memakai soft lens warna coklat dan dengan hati-hati aku menempelkannya pada lapisan kornea mataku.
Setelah semua hal persiapan selesai, aku keluar dari kamarku dengan membawa sepatu cheersku dan tas jinjing kecil bewarna putih. Aku sempat melirik jam dinding di ruang tamu dan menunjukan waktu 07.45.
“Baiklah kalau begitu. Aku punya waktu 15 menit lagi untuk sampai di stadion. Kalau pakai motor pasti cepat. Cheers competition, I’m coming…!” ucapku dengan penuh semangat 45.
Setelah kupakai sepatu cheersku, mamaku berteriak dari arah dapur sambil membawa sepiring sarapan. “Sheila, ayo sarapan dulu. Nanti kamu pingsan lho kalau tidak sarapan”
“Ah, mama… Nggak usah sarapan deh, aku sudah telat nih. Nanti kalau telat kan aku nggak bisa ikut lomba,  terus posisiku diganti sama cadangan. Sia-sia dong semua latihanku selama ini” jawabku sambil berlari menuju garasi.
“Hem… ya sudahlah terserah kamu saja” kata mama cuek lalu meletakkan sarapanku di meja makan.
Di garasi yang seluas 5×3 meter aku tidak dapat menemukan satupun motor yang menganggur. Dan yang ada hanyalah sepeda sport bewarna putih yang diparkirkan di sudut garasi. Seketika aku berteriak, “mama di mana motorku?!”
“Oh motormu tadi dipinjam kakakmu sebentar saat kamu mandi” jawab mama dari dapur.
“Apaa?! Terus aku naik apa maa…” rengek Sheila.
“Tuh, ada sepeda nganggur, kamu pakai aja” celetuk mama.
“Apaa?! Aku bisa telat dong maa. Mama kan tahu kalau lombaku dimulai jam 8. Seharusnya mama tadi melarang Kak Deny pinjam motorku.”
“Lho, jangan salahin mama dong. Salah kamu juga bangun kesiangan” bela mama.
“Huaaa… Tidaak!”
Akhirnya dengan terpaksa aku berangkat menggunakan sepeda. Dengan sekuat tenaga kukayuh sepeda kesayanganku sewaktu SD dulu. Sebenarnya jarah rumahku dengan stadion hanya 2,5 km dan dapat ditempuh dengan sepeda selama 10 menit. Tapi dengan banyaknya lampu merah dan jalanan yang sedikit padat maka waktu yang diperlukan sedikit bertambah menjadi 12 menit dengan menggunakan motor. Alhasil aku hanya pasrah menghadapi kenyataan dan berharap ada dispensasi waktu lomba.
Keringat deras mengucur dari keningku. Riasan wajahku seketika hilang dihapus keringat. Namun aku tak menghiraukannya dan terus mengayuh sepeda. Yang terpenting bagiku hanyalah datang ke stadion tepat waktu meskipun tak mungkin bisa kulakukan.
Tiin… Tiin… Tiin…
Suara klakson mobil memenuhi suasana pagi itu akibat ulahku yang bersepeda seenaknya. Kata-kata umpatan yang terdengar dari pengendara mobil saling mengingatkanku untuk bersepeda dengan hati-hati. Tapi aku tetap menambah kecepatan sepedaku hingga sampailah aku di halaman luar stadion.
Saat sampai di stadion aku langsung membelokan sepedaku ke arah lahan parkir di samping halaman stadion. Namun aku tak bisa mengendalikan sepedaku saat hendak memarkirkannya dan tiba-tiba… Bruk! Aku menabrak tembok pembatas lahan parkir. Bapak Tukang Parkir yang sedang bertugas di situ menegurku dan memarahiku. Namun karena aku tak punya waktu untuk berurusan dengan si Bapak Tukang Parkir itu aku langsung berlari menuju pintu stadion tanpa menghiraukan sepedaku.
“Permisi.., permisi.., maaf!” itulah kata-kata yang hanya bisa kuucapkan kepada orang yang aku tabrak saat aku berlari tergesa-gesa menuju pintu stadion.
Saat aku sampai di pintu stadion aku melihat guru pembinaku, Bu Nurul. Dengan nafas yang masih terengah-engah aku menyapa Bu Nurul. “Selamat pagi, Bu”
“Hei tunggu dulu Sheila” teriak Bu Nurul saat aku hendak memasuki stadion.
“Ya ada apa bu? Lombanya belum dimulai kan?” jawabku sambil menghampiri Bu Nurul.
“Kemana aja kamu ini? Kenapa kamu telat” tanya Bu Nurul.
“Hehe… telat, kesiangan Bu” jawabku malu-malu.
“Kamu itu seharusnya bisa me-manage waktu dan lebih disiplin sedikit, Sheila. Seharusnya kamu tidak terlambat. SMA kita sekarang sudah maju menunjukan aksi cheersnya” kata Bu Nurul sambil menunjuk ke arah dalam stadion. Saat itu gemuruh suara tepuk tangan dari penonton terdengar hingga luar stadion karena terpesona dengan aksi cheers dari SMAku.
“Hah? Sudah mulai? Terus bagaimana dengan posisiku?” tanyaku penuh ketegangan.
“Posisimu sudah digantikan oleh cadangan yang lebih disiplin, Sheila. Ibu tahu kalau kamu sangat menantikan perlombaan ini. Tapi apa daya ibu, Sheila. Perlombaan sudah dimulai 7 menit lalu dan bila SMA kita tidak dapat maju, kita akan terdiskualifikasi.” papar Bu Nurul yang mencoba menenangkanku.
“Tapi bu…” kataku sambil menahan air mata. Aku tak kuasa menahan penyesalan dan kesedihan yang terus menggumpal di dadaku. Akhirnya aku berlari meninggalkan pintu stadion tanpa menghiraukan Bu Nurul. Aku segera menuju lahan parkir untuk mengambil sepedaku dan pulang ke rumah.
“Sheila…!” teriak Bu Nurul yang mencoba menghentikanku. Namun aku tak mungkin bisa kembali dan melihat teman-temanku berjuang menunjukan aksi cheersnya sementara aku duduk diam di bangku cadangan.
Dengan terisak-isak aku setengah berlari menuju lahan parkir. Sesampainya di sana aku mencari sepedaku yang tadi kubiarkan tergeletak di halaman stadion. Akan tetapi setelah mencari-cari selama sekitar 5 menit aku tak dapat menemukan sepedaku. Kutanyakan pada si Bapak Tukang Parkir dan ia juga menjawab tidak tahu.
“Bagaimana sih pak. Bapak kan tugasnya menjaga kendaraan yang parkir di sini. Kok sepedaku bisa hilang?” protesku pada Bapak Tukang Parkir.
“Eh, salah mbaknya sendiri taruh sepeda sembarangan. Tadi saya suruh taruh yang rapi mbaknya malah nylenong pergi. Kalau tadi mbaknya mau naruh rapi kan saya beri kartu parkir, jadinya kalau ada orang asing ngambil ya ada bukti kartunya kan mbak” jelas Bapak Tukang Parkir setengah emosi.
Alhasil tanpa bukti apa-apa aku tak dapat menyalahkan Bapak Tukang Parkit ini. Nasib berkata lain lagi. Dan lagi-lagi nasib itu tidak memihak padaku. Sudah tidak dapat mengikuti lomba cheers, sepeda hilang pula. Dan aku dengan amat sangat terpaksa memutuskan untuk pulang ke rumah jalan kaki. Aku menggerutu dan memarahi diri sendiri di sepanjang jalan. Terkadang aku sedikit berteriak untuk meluapkan amarahku sampai-sampai banyak orang yang berlalu lalang melihatku dengan terheran-heran.

Sesampainya di rumah aku langsung diceramahi habis-habisan oleh mamaku. “Bagaimana sih kamu ini, Sheila? Seharusnya kamu lebih cermat dan teliti dong. Kalau memarkir sepeda itu yang hati-hati. Lihat kan sekarang sepeda raip digondol pencuri.”
“Tapi maa… aku tadi buru-buru” belaku pada mama.
“Halah, sudah tidak ada alasan apa-apa lagi. Itu juga salah kamu kan bangun kesiangan. Coba kalau tadi kamu bangung lebih awal. Kamu bisa ikut lomba cheers, sepeda juga masih ada!” sela mama.
Mengingat mama menyebut lomba cheers membuat hatiku hancur dan dipenuhi rasa penyesalan. Air mataku mengucur menuruni pipiku yang berkeringat. Langsung saja aku mengurung diri di kamar selama beberapa saat tanpa menghiraukan mama yang masih duduk di bangku sova dekat dengan TV.
“Sheila, mama belum selesai bicara!” teriak mama.
“Jangan ganggu aku maa! Aku lagi mau sendiri” jawabku penuh isak.
Blam…
Aku menutup pintu kamar. Aku merebahkan diriku ke ranjang sambil memeluk boneka teddy bear-ku yang bewarna coklat keemasan sambil menangis. Perlombaan yang selama ini kunanti-nantikan hilanglah sudah. Harapan dan impianku selama ini sirnalah sudah. Sia-sia semua perjuangan kerasku untuk mendapatkan salah satu posisi cheers jikalau akhirnya jadi begini. Aku ingin waktu bisa diundur kembali. Benar kata pepatah ‘karena nila setitik, rusak susu sebelanga’. Semua latihanku selama berbulan-bulan ini percuma sudah hanya gara-gara terlambat 7 menit.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Lagu ‘Stronger’ yang menjadi ringtone ponselku berdengung di dalam tas jinjing putihku. Tanganku lalu mengambil tas itu dan mengacak-acak isinya untuk mencari ponselku. Tapi aku tidak dapat mendapat ponselku karena begitu banyak barang yang ada di dalam tasku. Karena sudah tidak sabar lagi aku membalikan isi tasku dan menumpahkannya ke ranjang. Setelah semuanya keluar akhirnya aku dapat menemukan ponselku.
Ternyata ada telepon masuk dari Vita. Vita adalah teman sebangkuku yang sangat perhatian dan juga misterius. Wajahnya polos dan selalu berpakaian tertutup. Selama aku menjadi temannya aku belum pernah tahu latar belakang Vita bahkan nama orang tuanya. Seakan-akan Vita merahasiakannya dari publik. Berbeda denganku yang selalu curhat menumpahkan isi hatiku padanya dan Vita dengan senang hati menanggapinya.
Aku memencet tombol bewarna hijau di ponselku untuk menerima telepon dari Vita. “Halo?” sapaku.
“Hai, gimana kabarmu?” tanya Vita yang memiliki suara nyaring itu.
“Ah, nggak terlalu baik, Vit. Mungkin nasib tidak memihakku hari ini” jawabku dengan nada serak.
“Lho Shel, kamu habis nangis? Suaramu kok serak begitu?” tanya Vita penuh cemas.
“Iya hari ini aku batal ikut lomba cheers, Vit”
“Lho??? kok bisa?” tanya Vita kaget.
Akhirnya aku menceritakan semua permasalahanku mulai dari bangun tidur hingga sekarang. Mulai dari rencana persiapan pagi yang gagal, pembatalan lomba cheers, kehilangan sepeda sportku, dan celotehan mamaku yang membuatku makin pusing tujuh keliling.
“Waah, kalau begitu masalahnya bisa jadi rumit, Shel. Kamu bakalan dicap sebagai anak yang nggak disiplin. Masak gara-gara bangun kesiangan aja bisa berakibat fatal kayak gitu” celoteh Vita.
“Terus aku harus gimana dong,Vit?” tanyaku yang mengharapkan pencerahan dari Vita.
“Yaa aku sih sebenarnya punya jalan keluar buat masalahmu, Shel. Cuman …”
“Cuman apa, Vit?” desakku.
“Begini aku punya kenalan orang yang gimana yaa.., beliau itu punya kekuatan magis yang dapat mengubah nasib seseorang dari buruk menjadi normal kembali bahkan lebih baik lagi. Tapi dengan syarat kamu hanya diberi kesempatan satu kali saja untuk merubahnya” jawab Vita
“Ah, aku nggak percaya sama yang begitu-begituan” sergahku.
“Ya sudah kalau tidak percaya. Kan tidak ada salahnya dicoba. Toh kamu juga nggak ada kegiatan kan setelah ini. Daripada kamu nangis terus di kamar mending kamu samperin aja tuh orangnya. Nanti alamatnya aku sms-in ke kamu yaa, Shel” bujuk Vita.
“Hmm… Oke-oke aku nurut deh”
“Ya sudah. Good Luck yaa dan percayalah akan keajaiban. Da-da Sheila…”
Tut… Tut… Tut…
Saluran telepon terputus. Aku masih terpaku menatapi ponselku dan berusaha mencerna perkataan Vita. Selang satu menit kemudian, ponselku menyala dan berbunyi dua kali. Ternyata ada sms masuk dari Vita. Isinya sebuah alamat bertuliskan Jl. P. Rimbon No. 13. Aku pikir mungkin ini alamat orang yang Vita maksud. Tempatnya sih lumayan dekat dengan perumahanku. Segera aku berganti baju bebas dan bersiap berangkat ke alamat yang tertuliskan di sana. Aku berganti kaos hitam yang di depannya terdapat tulisan ‘Good Day & Good Luck’ bewarna hijau muda dan celana jeans hitam.
“Hmm… tidak mungkin kan kalau aku keluar begitu aja. Pasti mama nggak ijinin untuk sementara. Kalau aku keluar rumah lewat pintu depan pasti ketahuan. Bagaimana yaa?” pikirku dalam hati.
Setelah berpikir sejenak akhirnya aku memutuskan untuk keluar secara diam-diam. Hal pertama yang muncul dalam pikiranku adalah jendela kamar. Yap, melalui jendela aku bisa pergi keluar tanpa menimbulkan kecurigaan. Sebelum kabur aku mengunci pintu kamar dari dalam agar tidak ada orang yang bisa masuk. Aku mengambil sepatu slop cadanganku yang ada di bawah almari dan melemparnya ke luar jendela. Setelah itu aku membuka jendela lebar-lebar dan berisiap-siap untuk lompat. Jarak antara tanah dengan jendelaku setinggi dua meter. Setelah yakin aku menghitung dalam hati.
“Oke, satu, dua, tiga” aku melompat ke luar. Tapi…
“Aww…!” teriakku lirih. Ternyata lengan kananku lecet terkena salah satu sisi tembok rumahku saat melompat tadi. Sambil mengusap-usap lengan kananku aku waspada meliha-lihat keadaan sekitar. “Aman” batinku.
Tanpa membuang waktu lama aku segera menuju ke teras depan. Ternyata gembok pagar rumahku tak terkunci. Dengan cekatan aku membuka pintu pagar dan menutupnya kembali seperti semula. Untuk kedua kalinya aku melihat-lihat keadaan sekitar dan sekali lagi aman.
Dengan langkah cepat aku berjalan menuju ke luar kompleks perumahanku. Saat sudah mencapai gapura perumahanku yang bewarna merah bergaris putih aku berbelok ke arah kiri menuju perlimaan jalan. Dari perlimaan jalan aku berbelok ke arah kanan memasuki wilayah kompleks perumahan lain yang tak kalah luasnya dengan kompleks perumahanku. Hanya sekitar 100 meter dari pintu gapura kompleks perumahan tersebut aku dapat menemukan Jl. P. Rimbon. Jalan itu hanya selebar 2,5 meter dan hanya bisa dilewati oleh sepeda motor. Setelah kurasa yakin aku menyelusuri jalan tersebut dan mencari rumah si ‘Bapak Misterius’ yang dimaksudkan Vita.
“9, 10, 11, 12…” hitungku dalam hati sambil berjalan melewati deretan rumah di sepanjang Jl. P. Rimbon.
Nomor 13! Ini dia. Akhirnya aku menemukan alamat yang dimaksud Vita. Ternyata rumahnya jauh dari dugaanku. Rumah itu tak seperti rumah lain di dalam perumahan tersebut. Serasa kembali ke jaman dulu jika aku melihat rumah itu. Atap rumahnya yang unik seperti atap rumah adat Jawa. Temboknya terbuat dari batu bata yang belum dicat. Pintu dan pilarnya terbuat dari kayu jati. Lantainya terbuat dari ubin. Halamannya yang luas namun terlihat tak terurus karena banyak daun kering dan rumput liar berserakan. Di dekat pintu pagar terdapat papan nama bertuliskan ‘Mbah Jimbun, Spesialis Keajaiban’.
“Rumah macam apa ini? Kontras sekali dengan yang lainya” gerutuku. Setelah menarik nafas panjang aku memasuki rumah itu. Bau kembang dan kemenyan mulai tercium ketika aku memasuki teras rumah tersebut. Suasana mencekam tiba-tiba memenuhi pikiranku. Aku mencari-cari bel namun tak ada. Akhirnya aku mengetuk pintu rumah tersebut.
Tok, tok, tok
“Permisi… Mbah Jimbun” tak ada jawaban.
“Permisi… Selamat siang, mbah” tak ada jawaban lagi.
Tok, tok, tok
“Permisi… Ada orang?” lagi-lagi sunyi tak ada jawaban. “Permisi…!”
Setelah beberapa lama menunggu dan tak ada jawaban akhirnya akupun mengalah. Aku memutuskan untuk pulang kembali. “Halah, mengapa turuti permintaan Vita? Jangan-jangan dia hanya mencoba mengerjaiku lagi” geramku. Mungkin rumah ini kosong ditinggal penghuninya.
Saat hendak pergi pulang dan meninggalkan tempat itu tiba-tiba terdapat suara berdecit kecil dari belakangku. Aku menoleh ke belakang dan mendapati pintu rumah tersebut terbuka sedikit. Karena rasa penasaran yang tak tertahankan aku mengintip ke dalam rumah tersebut. Gelap. Hanya satu-satunya kata yang dapat melukiskan keadaan rumah itu. Aku tertarik untuk mengetahui isi rumah tersebut dan memutuskan untuk masuk ke dalamnya. Kubuka pintu itu pelan-pelan sehingga cahaya matahari dari luar dapat masuk.
Dalam keadaan remang-remang aku memasuki rumah itu. Bau kemenyan semakin tercium di dalam rumah tersebut. Benda-benda aneh dan usang memenuhi salah satu ruangan di dalam rumah tersebut. Terdapat kursi goyang di sudut ruangan. Boneka-boneka yang terlihat menyeramkan terpajang di sisi-sisi tembok ruangan tersebut dan juga ada boneka voodoo. Di samping kanan ruangan itu terdapat sova coklat yang usang dan pirnya yang rusak menyembul ke permukaan. Di depan sova tersebut terdapat sebuah meja berukuan sedang dan di sampingnya terdapat sebuah etalase. Etalase tersebut memajang berbagai barang-barang antik dan asing bagiku mulai dari keris, buku kuno, sisir, mahkota, selendang, sepatu slop jawa, nampan dsb.
Di antara semua benda yang terdapat di ruangan itu yang paling menarik perhatianku saat itu adalah sebuah benda berbentuk bola yang terbuat dari kaca dan terpajang di atas etalase yang berdebu. Benda itu adalah satu-satunya benda yang menurutku masih terawat. Aku mendekati benda itu perlahan-lahan. Tiba-tiba benda itu mengeluarkan semacam cahaya terang. Aku terlonjak kaget dan mundur ke belakang.
“Sedang apa kau di sini?” suara serak dan berat datang dari belakangku. Seketika aku menoleh menuju arah suara itu. Dan betapa kagetnya aku mendapati sesosok orang berpakaian jubah hitam berjenggot putih yang berdiri menatapku garang. Raut mukanya menyiratkan bahwa ia tidak senang ada orang masuk ke dalam rumahnya tanpa seijinnya. Orang itu memakai kain sorban dan menggunakan tongkat untuk berjalan. Di saat yang bersamaan aku berpikir bahwa inilah yang dimaksud sosok Mbah Jimbun.
“Dari mana kau datang? Cepat keluar!” bentakannya membuat nyaliku menciut. Dengan sekuat tenaga aku memberanikan diri untuk berbicara.
“A, An… Anda pasti Mbah Jimbun kan? Ehm… Be, begini, mbah. Saya tadi mendapat informasi dari teman sa, saya bahwa mbah ini mempunyai kekuatan magis dan bisa merubah nasib seseorang. Jadi maksud kedatangan saya kemari ingin meminta pertolongan dari Mbah Jimbun” jawabku tersendat-sendat. Aku tak berani menatap langsung wajah Mbah Jimbun.
“Kamu tidak pantas mendapatkan bantuanku! Pergi dari sini sekarang juga!” perintahnya.
“Tapi, mbah. Saya akan lakukan apapun demi merubah nasib saya, mbah”
“Lakukan apa saja?” jawab Mbah Jimbun tak percaya. Mbah Jimbun mendekatiku dan mengangkat wajahku agar dapat melihatku. “Kau yang pemalas, tidak disiplin, dan pemanja seperti itu tidak dapat kupercaya” lanjut Mbah Jimbun sambil melempar wajahku kembali.
“Da, darimana mbah tahu semua itu?” tanyaku penasaran.
“Wajahmu sudah menyiratkan itu semua. Saya tahu akar permasalahanmu berasal dari sifatmu yang jelek itu kan?”
“I, iya mbah. Ehm, saya janji untuk berusaha menghilangkan itu semua asal mbah mau menolong saya”
“Tidak! Saya tidak mau! Pergi dari sini…!” bentaknya.
“Tapi, mbah…” desakku
“Pergi!!”
Akhirnya tanpa bisa berbuat apa-apa aku pergi meninggalkan tempat itu. Namun sejurus kemudian aku melihat sosok yang aku kenal dari balik pagar rumah Mbah Jimbun saat aku hendak keluar . Sosok yang polos dan senyumnya yang khas. Sosok yang selalu memakai pakaian tertutup. Vita.
“Vita?? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku padanya.
“Maaf aku datang telat, Shel. Pasti eyangku tidak mau membantumu ya? Makanya aku di sini ingin meyakinkan eyang untuk membantumu” jawab Vita tenang.
“Eyang?? Maksudmu Mbah Jimbun ini eyangmu, Vit?” tanyaku seakan tak percaya.
“He’em” jawab Vita sambil menganggukan kepala. “Ayo kita masuk lagi” ajak Vita.
Dalam keadaan yang masih setengah tak percaya aku mengikuti Vita dari belakang. Vita mengetuk pintu tiga kali dan mengucapkan salam. Beberapa detik kemudian Mbah Jimbun membukakan pintu. “Oh, Vita cucu kesayangan eyang. Ayo masuk” ajak Mbah Jimbun. Namun ekspresi Mbah Jimbun berubah saat ia melihatku.
“Kau lagi! Mengapa kau belum juga pulang?” tanyanya padaku.
“Eyang, jangan marah gitu dong. Dia itu teman dekatku. Namanya Sheila. Dia mau meminta bantuan eyang. Masak eyang nggak mau nolong teman cucu kesayangan eyang ini?” bujuk Vita.
“Ya sudahlah. Ayo kamu masuk” katanya padaku.
“I, iya mbah” jawabku sembari masuk.
Setelah masuk aku dan Vita dipersilahkan duduk di salah satu sova. Tanpa basa basi Mbah Jimbun mempersilahkanku untuk mengungkapkan permasalahanku. Setelah selesai mengungkapkannya aku melihat Mbah Jimbun mengangguk-angguk seakan sudah mengetahui cara untuk menyelesaikannya.
“Begini, saya akan memberikan salah satu barangku yang dapat membalikkan waktu. Saya yakin alat ini pasti dapat membantumu” kata Mbah Jimbun seraya mengambil benda berbentuk bola kaca yang menarik perhatianku tadi saat pertama kali masuk. Beliau lalu meletakannya perlahan-lahan di depanku. “Saya akan mempersilahkanmu memakai alat ini namun dengan syarat kamu harus berjanji untuk lebih disiplin waktu lagi. Apabila kamu melanggarnya kamu akan terkena penyakit kusta seumur hidupmu. Sanggup?” tanya Mbah Jimbun.
Setelah berpikir sesaat dan didukung oleh Vita akhirnya aku menyetujui persyaratan itu. Setelah aku mnyetujuinya Mbah Jimbun lalu mengambil sebuah buku kuno dan menuliskan janjiku di dalamnya. Seberkas cahaya menyembur keluar dari buku tersebut setelah Mbah Jimbun selesai menuliskan janjiku. Setelah itu aku diperintahkan Mbah Jimbun untuk menaruh kedua telapak tanganku di atas bola kaca tersebut.
“Sekarang kau bisa sesuka hati menentukan waktu kapan kau ingin kembalikan lagi” kata Mbah Jimbun
“Baiklah kalau begitu. Aku ingin kembali di mana lomba cheersku akan dimulai yaitu sekitar jam 07.50.” jawabku yakin.
“Baiklah sekarang pejamkan matamu dan jangan membuka atau mengintip sebelum aku perintahkan”
Kudengar suara Mbah Jimbun membacakan mantra ajaibnya. Beberapa detik kemudian aku mengalami guncangan hebat dan aku mendengar sekelilingku menjadi bergemuruh. Aku tak dapat melihat apa-apa karena aku tak berani untuk membuka mataku. Guncangan dan gemuruh itu berlangsung selama 5 menit. Setelah 5 menit berlalu suasana menjadi hening sesaat. “Bukalah matamu sekarang” perintah Mbah Jimbun.
Aku membuka mata. Dan sedetik kemudian aku terlonjak kaget karena pemandangan di sekitarku berubah menjadi hijau. Setelah mengusap-usap mataku aku sudah membiasakan dengan keadaan, aku dapat melihat sekelilingku dengan jelas. Ternyata warna hijau yang kulihat sebulumnya adalah warna dari rumput yang luas. Ada sebuah bangku berjejeran mengelilingi rumput itu. Perlu waktu semenit bagiku untuk menyadari bahwa aku sedang berada di stadion. Suara tepuk tangan penonton menggema di dalam stadion.
Kulihat sekelilingku. Di sebelah kananku ada Anggit yang tak lain adalah teman cheersku yang dengan anggunya memakai kostum cheers. Begitu pula denganku. Seingatku aku sudah berganti baju bebas. Tapi mengapa aku mengenakan kostum cheers sekarang? Saat masih bingung memikirkan apa yang terjadi aku dikagetkan oleh Cintya yang menepuk bahuku dari belakang. “Hei, Sheila. Sudah siap?” tanyanya.
“Siap untuk apa?” tanyaku kembali.
“Bagaimana sih kamu? Ya siap untuk aksi kita lah. Kita kan mau lomba cheers 5 menit lagi” jawabnya santai.
“Hah? Lomba cheersnya kan sudah berlangsung. Ini jam berapa sih?” tanyaku masih bingung.
“Jam 07.55” jawab Cintya.
Astaga! Baru aku sadar bahwa mantra dan bola kaca ajaib dari Mbah Jimbun lah yang menyebabkan semua ini. Sekarang aku kembali beberapa jam yang lalu. Aku mulai percaya akan keajaiban. Senyum mengembang menghiasi wajahku. Sekarang aku tidak telat lagi untuk mengikuti lomba cheers. Dan inilah kesempatanku untuk menunjukan aksiku di hadapan para juri dan penonton.
“Para hadirin sekalian, inilah cheerleaders dari SMA Cikumanis!” suara pemandu acara mengembalikanku ke kenyataan. Dengan menarik nafas panjang aku dan teman-teman menuju ke tengah lapangan. Dengan semangat menggebu-gebu, koordinasi yang terkontrol serta latihan yang sungguh-sungguh sebelumnya timku dapat melakukan aksinya dengan lancar tanpa hambatan apapun. Setelah selesai, timku kembali ke tepi lapangan dan berharap cemas menunggu pengumuman pemenang.
Jam menunjukan pukul 09.30. Dan saatnya untuk pengumuman. Jantungku mencelos ingin keluar saat mengetahui bahwa tim cheerleadesku mendapatkan juara 1. Suara riuh tepuk tangan dan sorak sorai penonton terdengar semakin keras ketika salah satu dari perwakilan timku menerima piala dan hadiah lain yang tak kalah seru. Bu Nurul, pembina cheerleaders, memberikan salam selamat kepada timku.
Pukul 10.30 aku kembali pulang setelah mengobrol basa basi dengan timku. Aku pulang dengan perasaan senang yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku menuju lahan parkir dan betapa leganya bahwa sepeda sportku yang sebelumnya hilang menjadi ada kembali dan tidak dicuri maling. Akhirnya dengan bantuan keajaiban Mbah Jimbun aku dapat merubah nasibku menjadi lebih baik. Dan tentu saja aku tidak lupa pada janjiku pada Mbah Jimbun untuk lebih disiplin waktu lagi.

WAKTU ADALAH BARANG YANG TAK TERNILAI HARGANYA

***TAMAT***

Leave a comment